Berita
Strategi Baru Menyemai Literasi

Diunggah oleh Area Perubahan II - 21 Maret 2023






Jakarta - Dalam Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024, yang dimaksud dengan 'daerah tertinggal' adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Daerah tertinggal ditetapkan berdasarkan kriteria: a. perekonomian masyarakat; b. sumber daya manusia; c. sarana dan prasarana; d. kemampuan keuangan daerah; e. aksesibilitas; dan f. karakteristik daerah.
Daerah tertinggal termasuk ke dalam daerah atau wilayah 3T, bersama-sama dengan daerah terdepan dan daerah terluar. Bagi masyarakat awam, galibnya daerah 3T identik dengan kondisi terbelakang dan kurang maju. Pandangan ini ada benarnya, setidaknya jika kita melihat dari sisi sarana/prasarana, perekonomian, sumber daya manusia, dan aksesibiltas.

Aksesibilitas merupakan faktor dominan bagi upaya pemajuan wilayah 3T, baik akses pada sumber-sumber ekonomi maupun akses pada sumber-sumber ilmu pengetahuan. Dalam konteks pendidikan di wilayah 3T, aksesibilitas pada sumber ilmu pengetahuan mewujud dalam bentuk ketersediaan berbagai bahan bacaan atau buku yang bermutu dan memadai.

Mengingat akses ke internet adalah hal yang mustahil di wilayah 3T, bahan bacaan berupa buku cetak menjadi unsur utama dalam peningkatan literasi anak-anak didik. Buku-buku tersebut juga harus memadai secara kuantitas dan terdistribusi secara merata bagi seluruh anak-anak, sesuai dengan jenjang membaca mereka.

Program Merdeka Belajar Episode Ke-23 (MB-23): Buku Bermutu untuk Literasi Indonesia hadir untuk membantu mengatasi kondisi tersebut. Pengiriman 15,3 juta eksemplar buku ke wilayah 3T dan wilayah dengan nilai Asesmen Nasional yang rendah bertujuan untuk mendekatkan buku kepada anak-anak didik sehingga mampu mengatasi masalah aksesibiltas pada sumber bacaan dan sumber pengetahuan.

Program MB-23 berangkat dari kondisi tingkat literasi di Indonesia yang masih belum beranjak dari tahun ke tahun. Berdasarkan nilai PISA tahun 2018, skor literasi Indonesia masih menempati urutan 71 dari 77 negara. Peringkat ini juga terkonfirmasi melalui nilai Asesmen Nasional tahun 2021, yang menunjukkan bahwa kemampuan literasi numerasi siswa masih berada di bawah kompetensi minimum, yakni 1 dari 2 siswa di Indonesia masih belum mencapai kompetensi minimum.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikburistek) menghadirkan program MB-23 dalam sebuah 'paket lengkap'. Disebut paket lengkap karena program ini dimulai dari pemilihan buku yang bermutu, penjejangan buku sesuai dengan kemampuan baca anak, pencetakan dan pengiriman buku langsung ke alamat sekolah, dan pelatihan pendampingan buku bagi guru di sekolah-sekolah penerima buku hibah ini.

Untuk menentukan buku yang bermutu, Kemendikbudristek telah melaksanakan diskusi kelompok terpumpun (DKT) yang melibatkan 400 anak PAUD dan SD. DKT ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang karakter atau jenis-jenis buku yang disukai oleh anak-anak.

Harapannya adalah bahwa buku-buku yang dikirim tidak hanya buku yang 'baik' menurut perspektif nilai-nilai orang tua, tetapi juga merupakan buku yang diminati atau disukai anak-anak untuk dibaca. Buku-buku yang dipilih juga dilengkapi dengan pelevelan yang sesuai dengan kemampuan baca anak.

Buku-buku yang dicetak dan dikirim ke wilayah 3T juga memiliki tema yang beragam (lebih dari 20 tema), seperti tokoh Indonesia, teknologi sederhana, kebinekaan, kekerasan pada anak, ASEAN, kuliner, mitigasi bencana, keragaman budaya, dan toleransi. Pada tahun 2022 Kemendikbudristek telah mengirimkan 716 judul buku untuk PAUD dan SD ke lebih dari 20.000 sekolah.

Buku-buku ini berasal dari tiga sumber utama, yaitu dari sayembara penulisan buku anak, terjemahan dari bahasa asing, dan terjemahan dari bahasa daerah. Di samping itu, beberapa judul merupakan sumbangan dari LSM pegiat literasi, seperti Let's Read Asia dan Litara.

Selain pengiriman buku, program MB-23 juga dilengkapi dengan pelatihan bagi guru di sekolah-sekolah penerima buku. Materi pelatihan ini meliputi dua hal utama, yaitu tata cara pengelolaan buku dan cara pemanfaatan buku yang benar. Dalam pelatihan tata kelola buku, para guru dilatih tentang bagaimana merawat buku, memajang buku yang menarik, mempromosikan buku kepada anak didik, dan melakukan sirkulasi buku agar tidak membosankan.

Sementara itu, dalam pelatihan pemanfaatan buku, para guru mendapatkan materi tentang bagaimana memegang buku, membuka buku yang benar, memulai membaca buku, membaca nyaring, membaca bersama, membaca mandiri, dan memahami isi buku bacaan.

Untuk memastikan program MB-23 menjadi sebuah gerakan bersama, Kemdikbudristek menggandeng banyak pihak, baik dalam hal pencetakan dan pengiriman buku, maupun dalam hal pelatihan pemanfaatan buku. Pencetakan buku melibatkan empat perusahaan percetakan, sedangkan dalam pengiriman buku melibatkan PT Pos Indonesia dan TNI Angkatan Udara. Dalam hal pelatihan pemanfaatan buku, Kemdikbudristek melibatkan berbagai LSM pegiat literasi, seperti Inovasi, Provisi, Litara, Lets Read Asia, dan TBM. Materi-materi dalam pelatihan ini juga dapat diakses secara mandiri oleh kepala sekolah dan guru melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM).

Ada harapan besar akan hadirnya banyak buku di hadapan anak-anak di wilayah 3T. Buku-buku tersebut akan berfungsi sebagai jendela, pintu geser, dan cermin bagi anak-anak. Sebagai 'jendela' buku akan memberikan ruang imajinasi untuk mengeksplorasi dunia baru melalui kekayaan ilustrasi dan kekuatan cerita fantasinya. Sebagai 'pintu geser', buku menawarkan konteks, tempat, dan pengalaman baru melalui kejadian yang dialami oleh para tokoh di dalam sebuah cerita. Sementara sebagai 'cermin' buku akan memberikan kesempatan pada anak untuk melihat konteks yang telah dikenalnya, dapat berupa daerah tempat tinggal, elemen budaya, atau pengalaman sehari-hari.

Jika menengok kembali definisi literasi, kita akan menemukan benang merah antara literasi dan peradaban sebuah bangsa. Literasi lazim didefinisikan sebagai kemampuan berpikir kritis dalam memahami dan merefleksikan berbagai sumber informasi sehingga seseorang mampu untuk memilah dan memilih informasi yang benar dan bermanfaat, yang selanjutnya dari berbagai informasi itu seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan ikut berpartisipasi di dalam membangun bangsanya.

Jika setiap orang berada pada tahap 'sudah literat', akumulasi dari orang-orang ini akan membentuk masyarakat yang kritis, bergairah meningkatkan kualitas hidupnya, mampu menciptakan hal-hal baru, dan terlibat langsung di dalam membangun bangsanya. Bergabungnya orang-orang yang sudah literat ini, dengan berbagai pemikiran dan aktivitasnya, 'perlahan tetapi pasti' akan meningkatkan peradaban sebuah bangsa.

Inilah sisi lain dari literasi yang mesti kita jadikan nilai ideal atau cita-cita mulia kita sebagai sebuah bangsa, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat pada Pembukaan UUD 1945. Bayangkan, sebuah gerakan literasi, gerakan memajukan peradaban dimulai dari pinggiran, dari wilayah 3T, yang kemudian berhimpun ke tengah sehingga mampu mengubah wajah 'pinggiran yang kurang maju dan terpinggirkan' menjadi wajah yang optimistis menatap masa depan dengan segala inovasi dan perubahannya. Pada akhirnya, julukan 3T yang identik dengan kondisi terbelakang dan kurang maju, berangsur akan hilang dan berubah menjadi wilayah pembawa perubahan.

Kita kembali ke pengiriman buku ke 'wilayah pinggiran'. Para guru dan siswa penerima hibah buku memberikan testimoni yang sangat mengejutkan, sekaligus membawa rasa optimistis. Mereka rata-rata terkejut, setidaknya karena tiga hal, yaitu jumlah buku yang banyak (rata-rata per sekolah menerima 1.700-an eksemplar), bukunya bagus-bagus (ilustrasi, warna, dan ceritanya), dan judulnya yang beragam (mencapai 716 judul). Tentu saja rasa optimistis terbangun melihat bagaimana antusias mereka dalam menerima buku-buku hibah ini dan berharap akan meningkat minat mereka pada buku.

Harapan dan rasa optimistis itu bisa saja hanya sebuah mimpi di siang bolong. Namun, tidak mustahil juga menjadi sebuah kenyataan, yang itu semua sangat bergantung kepada kita, peran-peran kita sebagai anak bangsa. Secara objektif, kondisi saat ini di wilayah 3T sangat memerlukan peran-peran guru, orang tua siswa, dan masyarakat (komunitas literasi, duta baca, duta bahasa), serta kita semua. Ayo, sebarkan kegembiraan membaca, di mana saja, kapan saja. Salam literasi!

M. Abdul Khak, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa, Kemendikbudristek.

 
Sumber: Strategi Baru Menyemai Literasi (detik.com)